Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sengkarut Korupsi Dana Tsunami Cup di Meja Hijau #Sengkarut #Korupsi #Dana #Tsunami #Cup #Meja #Hijau

Sengkarut Korupsi Dana Tsunami Cup di Meja Hijau

Sidang kasus dugaan korupsi dana Tsunami Cup 2017 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh memasuki babak baru, karut-marut perhitungan kerugian negara dan audit BPKP Perwakilan Aceh jadi sorotan penasihat hukum.

Kasus dugaan korupsi dana turnamen sepak bola Atjeh Word Solidarity Cup (AWSC) tahun 2017 bermula dari Surat Keputusan Gubernur Aceh No. 424/741/2017 tanggal 31 Juli 2017 yang menunjuk MSA sebagai ketua panitia, AS menjadi sekretaris dan MZ selaku pembina.

Untuk membantu terlaksananya turnamen ini, panitia menunjuk SBS, salah satu konsultan profesional melalui surat No. 03/VIII/2017 tanggal 2 Agustus 2017 dengan honor Rp10 juta per bulan. Turneman ini menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh – Perubahan (APBA-P), sponsorship dan pihak ketiga.

Penggunaan anggaran itu ditengarai bermasalah, hingga kemudian ditangani Kejaksaan Negeri (Kejari) Banda Aceh. SBS dan MSA dijadikan terdakwa dalam berkas terpisah.

Dakwaan terhadap SBS bernomor Reg.Perkara: PDS-02/BNA/Ft.1/12/2021 setebal 33 halaman ditandatangani oleh 7 jaksa dari Kejari Banda Aceh selaku tim Jaksa Penuntut Umum (JPU). Mereka adalah Koharuddin S.H, M.H, Teddy Lazuardi Syahputra S.H, M.H, Afrimayanti S.H, Mursyid S.H, M.H, Asmadi Syam S.H, Sakafa Guraba S.H, M.H, dan Yuni Rahayu S.H.

Pada sidang perdana, Jumat, 14 Januari 2022, dalam dakwaan terhadap SBS, JPU menyebutkan bahwa SBS didakwa melakukan tindak pidana korupsi sebesar Rp693.971.544 dan MSA sebesar Rp1.385.629.050, MZ sebesar Rp730.000.000. Dalam dakwaan terhadap SBS itu, baik MSA maupun MZ berstatus sebagai saksi. Karena MSA didakwa dalam berkas terpisah.

Angka-angka itulah yang kemudian dipertanyakan oleh Penasihat Hukum (PH) SBS dari Kantor Hukum Yahya Alinsa and Associate. Mereka adalah Yahya Alinsa, S.H, Dr. Ansharullah Ida, S.H, M.H, dan Syamsul Rizal, S.H. Mereka menilai dakwaan JPU kabur, apalagi setelah JPU di hadapan majelis hakim Muhifuddin S.H, M.H (hakim ketua), Faisal Mahdi, S.H, M.H dan Dr Edwar S.H, M.H (hakim anggota) menyatakan renvoi atas kesalahan penempatan kata “terdakwa” dalam dakwaan SBS yang menyebutkan SBS sebagai pengendali perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam turnamen tersebut. Pada kenyataannya perusahaan-perusahaan itu di bawah kendali MSA.

Dalam nota keberatan (eksepsi) SBS terhadap dakwaan jaksa itu, Ansharullah Ida menegaskan bahwa SBS hanya sebagai pekerja yang ditunjuk oleh panitia, yang tidak mempunyai akses kepada anggaran, sehingga jika ada wanprestasi antara panitia dengan SBS itu menjadi ranah hukum privat, bukan ranah hukum publik, dan bukan tindak pidana kejahatan.

“JPU ceroboh, tidak cermat dan tidak hati-hati, atau bahkan lebih tepat dinyatakan sengaja menyelundupkan fakta yang dibuat atau disusun sendiri dalam menyusun dakwaan, sehingga telah menimbulkan keraguan, kekaburan dan ketidakjelasan mengenai kerugian keuangan negara. Ini sungguh ironis dan menjadi bukti yang kuat bahwa JPU melakukan upaya sekadar semangat menghukum, bukan semangat menegakkan hukum,” ujar Ansharullah Ida.

Ansharullah Ida mengungkapkan, dalam dakwaan primer halaman 2 JPU menyebutkan SBS telah memperkaya orang lain yaitu MZ sejumlah Rp730 juta dari dana realisasi pembayaran hak siar.

Tapi, di sisi lain pada halaman 10 dakwaan itu, JPU juga menguraikan bahwa MZ menyumbang dana untuk turnamen AWSC 2017 itu sebesar Rp2,650 miliar. Dana itu dihimpun dari NA (alm) alias PG sebesar Rp1,3 miliar dan dari AM sebesar Rp1,350 miliar.

“Ini artinya yang diterima MZ Rp730 juta, sementara yang disumbang MZ senilai Rp2,650 miliar. Masih ada Rp1,920 miliar dana dari MZ yang harus ditarik setelah turnamen itu usai. Bukankah ini artinya negara masih untung, sementara MZ yang buntung?” tanya Ansharullah Ida.

Di sisi lain, kata Ansharullah Ida, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Aceh juga kurang cermat dalam melakukan audit. Alasannya, karena dana dari pihak ketiga untuk turnamen itu dimasukkan sebagai pendapatan daerah, yakni dana pinjaman pihak ketiga dari MZ sebesar Rp2,650 miliar dan dana dari MSA sebesar Rp380 juta, dari total dana yang dicatat bendahara AWSC sejumlah Rp5.436.036.000.

Namun BPKP kemudian melakukan koreksi. Jumlah penerimaan kas AWSC menurut auditor BPKP menjadi Rp5.831.083.760. Dari jumlah koreksi tersebut, pinjaman dari MZ Rp2,650 miliar dan dari MSA sebesar Rp380 juta juga masih dicatat sebagai sumbangan pihak ketiga lainnya yang sah dan tidak mengikat, yang kemudian dikategorikan sebagai pendapatan daerah oleh auditor BPKP Perwakilan Aceh.

“Dengan demikian sangat jelas audit yang dilakukan auditor BPKP Perwakilan Aceh asal-asalan, dan secara harfiah terkesan ‘dipaksakan’  yang akhirnya sangat merugikan klien kami (SBS),” pungkas Ansharullah Ida.

Sementara itu terkait dana pinjaman dari MZ kepada panitia turnamen AWSC, kuasa hukum SBS lainnya Yahya Alinsa menjelaskan, setelah turnamen itu selesai, MZ mengembalikan dana yang dipinjam dari AM sebesar Rp700 juta, sedangkan sisanya Rp920 juta tidak dapat dikembalikan sehingga digugat ke pengadilan.

Gugatan AM terhadap MZ tersebut didaftarkan di PN Banda Aceh pada 1 September 2021 dalam register No. 38/pdt.G/2021/PN Bna. Hasilnya dicapai kesepakatan MZ menyerahkan sertifikat tanah dengan kuasa menjual yang dibuat di hadapan notaris dengan harga jual perkiraan Rp700 juta, ditambah sejumlah uang dengan cara dicicil.

“Gugatan dan putusannya telah ditayangkan dalam Sistem Informasi Pelayanan Publik (SIPP) Pengadilan Negeri Banda Aceh, kejelasannya bisa dilihat di sana,” ungkap Yahya Alinsa.[]

#Sengkarut #Korupsi #Dana #Tsunami #Cup #Meja #Hijau