Babi; Hewan yang Fenomenal #Babi #Hewan #yang #Fenomenal
Babi; Hewan yang Fenomenal
Oleh: Muhammad Syahrial Razali Ibrahim*
Pemberitaan tentang keberhasilan tim dokter dari University of Maryland Medicine Amerika Serikat melakukan pencangkokan hati babi ke tubuh manusia (xenotransplantasi) masih menjadi topik hangat yang dibicarakan banyak kalangan, terutama umat Islam. Mereka pasti bertanya-tanya soal kepastian hukumnya, karena selama ini diyakini babi haram untuk dimanfaatkan apapun dari tubuhnya. Peristiwa transplantasi ini semakin menyita perhatian publik karena salah satu dari tim ahli bedahnya ternyata muslim, Muhammad Mohiuddin. Bahkan menurut salah satu sumber, ia adalah kepala program xenotransplantasi di Universitas Maryland.
Sekadar informasi, transplantasi organ babi ke tubuh manusia ini bukanlah yang pertama, sebelumnya pada Oktober 2021 lalu sekelompok pakar dari New York University Langone Health berhasil menanamkan ginjal babi yang sudah mengalami modifikasi genetik ke dalam tubuh seorang pasien yang mengalami kematian otak dengan gejala disfungsi ginjal. Pilihan jatuh kepada babi tidak kepada hewan lainnya, karena babi dianggap lebih aman, praktis dan ekonomis. Harganya murah, ternaknya mudah dan tidak termasuk binatang yang dilindungi karena terancam punah, seperti simpanse dan orang utan. Lebih penting lagi dari itu semua, secara fisiologis genetis organ tubuh babi ukurannya sangat cocok dengan manusia, dan ia lebih mudah dicangkok ketimbang hewan lainnya.
Keharaman dan Kehalan Babi
Dalam Islam setidaknya ada empat ayat yang secara tegas menyebutkan keharaman babi. (1) “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah” (al-Baqarah: 173). (2) “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi” (al-Maidah: 3). (3) Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi” (al-An’am: 145). (4) “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah” (al-Nahl: 115).
Dalam sebuah hadis disebutkan, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi dan berhala”, lalu ada yang tanya, bagaimana jika lemak bangkai, orang-orang menggunakannya untuk mengecat (memvernis) perahu, meminyaki kulit, dan dijadikan minyak lampu, nabi menjawab, “tidak, itu haram”. Kemudian mengatakan, Allah melaknat Yahudi, karena ketika diharamkan kepada mereka lemak babi, mereka cairkan, kemudian mereka jual, dan memakan hasil jualan itu” (HR: Bukhari).
Secara umum berdasarkan ayat dan hadis di atas para ulama sepakat mengatakan bahwa babi seluruh tubuhnya (‘aini) haram untuk dimakan, baik daging, lemak, kulit dan lain-lainnya. Adapun penyebutan daging pada semua ayat, karena daging merupakan incaran utama dari konsumsi babi. Keharaman inipun melekat dan berdiri sendiri, baik ketika hidup maupun saat sudah mati (zati). Namun begitu, sebagian masih memperselisihkan soal hukum memanfaatkan babi jika bukan untuk konsumsi (makan). Berdasarkan hadis di atas, oleh sebagian ulama mengatakan, nabi tidak melarang jika dimanfaatkan untuk keperluan tertentu, meskipun memperjualbelikannya tetap terlarang.
Begitu juga dengan hadis yang membolehkan samak bangkai, oleh sebagian pakar menjelaskan bahwa kebolehan menyamak kulit mencakup kulit babi. Karena dalam hadis itu saat nabi menyuruh sahabat memanfaatkan kulit kambing yang sudah mati dengan cara disamak, sebagian mereka berkomentar, itu bangkai ya Rasulullah, nabi menjawab, ”yang diharamkan memakannya” (HR: Bukhari). Hadis ini menjadi dasar yang kuat bagi sebagian ulama bahwa keharaman babi hanya sebatas untuk dimakan, namun tidak untuk kegunaan lainnya.
Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa secara umum babi diharamkan, kecuali sebagian kecil darinya dibolehkan, yaitu bulunya. Ia menuturkan bahwa menjahit dengan menggunakan bulu babi hukumnya “boleh” sembari menyebutkan satu riwayat, bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang hukum menjahit menggunakan benang dari bulu babi, beliau menjawab, “boleh”. Ibnu Khuwaiz Mindad mengatakan bahwa menjahit dengan bulu babi sudah populer sejak zaman nabi, dan masih dilakukan hingga beliau sudah wafat. Tidak ada dalil yang menunujukkan bahwa nabi pernah melarangnya, dan tak seorangpun dari ulama yang mengingkari perbuatan tersebut.
Terlepas dari selisih pendapat tentang memanfaatkan babi di luar keperluan makan, ulama menyepakati bahwa babi bisa “halal”, bahkan untuk dimakan sekalipun jika dalam keadaan darurat dan terpaksa, atau tidak sengaja (tidak tahu). Kebolehan ini ditegaskan oleh semua ayat yang mengharamkan babi, di mana pada penutup ayat Allah berfirman, “Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya” (al-Baqarah: 173). Ayat lain, “Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (al-Maidah: 3). Di surah al-An’am Allah berfirman, “Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (al-An’am: 145). Terakhir di ayat lainnya, “tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (al-Nahl: 115).
Ayat-ayat di atas menjadi landasan fatwa para ulama bahwa sesuatu yang dalam kondisi kritis, yang jika tidak dilakukan akan membawa kepada kematian misalnya, maka hukumnya menjadi boleh, meskipun sebelumnya tidak. Dari ayat-ayat di atas muncul satu kaedah besar dalam Islam, yaitu kondisi kritis (darurat) membolehkan hal-hal yang (sebelumnya) terlarang. Kaedah ini sesuai dengan tujuan utama kehadiran Islam (maqasid syari’ah), yaitu menghilangkan kesukaran dari umatnya dan memberikan kemudahan untuk mereka, atau menolak kerusakan (mafsadat) dan menggapai kemaslahatan. Kaedah dan dalil inilah yang menjadi landasan utama bagi ulama Islam saat memfatwakan bolehnya cangkok organ babi pada tubuh manusia. Apalagi ini soal nyawa dan keberlangsungan hidup seseorang. Sejatinya, menjaga jiwa manusia merupakan prioritas dari maqasid syari’ah itu sendiri, di samping menjaga agama, akal, harta, dan keturunan.
Mengapa Babi Diharamkan
Dalam banyak sumber ditemukan penjelasan tentang fakta bahwa babi memberi kontribusi besar dalam dunia kesehatan dan perobatan. Hewan ini mengambil porsi besar dalam industri farmasi dan kedokteran. Beberapa produk jadi seperti insulis, heparin, dan pepsin, semuanya berasal dari bagian dalam tubuh babi, seperti pankreas, lapisan perut dan usus halus. Submukosa usus halus babi bisa dimanfaatkan untuk menyembuhkan dan merawat kulit manusia yang rusak. Otot-otot kaki manusia bisa ditumbuhkan dengan menggunakan implan yang berasal dari kandung kemih babi.
Ilmuwan genome, Craig Venter kini tengah mengembangkan paru-paru babi untuk bisa dicangkokkan pada manusia. Seorang dokter hewan dan juga peneliti yang terkenal dengan karyanya “Swine in The Laboratory” menyebutkan bahwa sejumlah besar sistem biologis pada babi serupa dengan manusia. Kesamaan itu mencapai angka 80 – 90 persen, baik secara anatomi maupun fungsinya. Ia menegaskan, jika sesuatu bekerja pada tubuh babi, maka besar kemungkinan akan berfungsi pada tubuh manusia.
Silakan baca artikel berjudul “Babi-Babi di Dunia Kedokteran dan Pengobatan”, atau “Babi si Hewan Paling Berjasa Bagi Kesehatan Manusia”, yang dimuat tirto.id, dan artikel lainnya untuk mengetahui lebih banyak tentang mamfaat babi serta kontribusinya terhadap keberlangsungan hidup manusia. Di balik itu semua muncul pertanyaan “bodoh”, “mengapa babi diharamkan” jika faktanya demikian?
Jawaban pertama yang bisa diajukan adalah, dalam Islam dasar halal haram bukanlah pada zat yang dihalalkan atau diharamkan. Tetapi sepenuhnya bergantung pada Allah yang menghalalkan dan mengharamkan. Artinya, tidak harus yang diharamkan itu bermasalah. Jika itu adalah hewan, tidak semestinya hewan itu membawa mudarat bagi manusia. Pun begitu jangan dipahami bahwa pengharaman itu sia-sia, tidak. Karena pasti ada kebaikan dan kemaslahatan di balik pengharaman tersebut, baik diketahui atau tidak. Pandangan ini didasarkan pada fiirman Allah, “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka” (al-Nisa’: 160), dan firman Allah, “Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang” (al-An’am: 146).
Dua ayat di atas jelas menunjukkan bahwa pengharaman itu bukan karena jenis hewannya yang bermasalah, tetapi sebagai hukuman atas kejahatan masyarakat Yahudi. Sehingga nanti ketika terutusnya nabi Isa, salah satu misinya adalah menghalalkan kembali apa yang dulu diharamkan untuk Bani Israil. Perhatikan firman Allah berikut ini, (Isa berkata) “Dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu” (Ali ‘Imran: 50).
Lalu, untuk konteks umat Islam, apakah babi baik-baik saja, dan umat Islam yang bermasalah, sehingga perlu diharamkan sebagai bentuk hukuman? Jelas bukan! Dalam al-Quran justru muncul penegasan bahwa babi yang bermasalah, bukan umat Islam. Allah berfirman, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor” (al-An’am: 145). Syaikh Mustafa Zarqa mengatakan, alasan yang dikemukakan al-Quran dalam mengharamkan dan menghalalkan makanan menjadi penegasan atau hikmah mengapa babi diharamkan, Allah berfirman, “Menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” (al-A’raf: 157). Buruk di sini terjemahan dari kata khabaits (plural dari khabits) yang dimaknai oleh para ulama sebagai sesuatu yang tidak disukai karena kotor atau menjijikkan, apakah secara lahir maupun batin. Makna khabits sepadan dengan makna kotor pada ayat sebelumnya yang diterjemahkan dari kata rijsun.
Jika dikaitkan dengan temuan sains, babi berada pada dua sisi, positif dan negatif. Beberapa catatan di atas adalah bukti ilmiah bahwa babi positif, artinya ia bermanfaat bagi kehidupan manusia. Namun, fakta lainnya yang juga ilmiah mengungkapkan bahwa babi negatif. Artinya, babi memiliki sejumlah unsur dan senyawa berbahaya dalam tubuhnya, baik pada dagingnya, darah maupun lemaknya yang semua itu bisa membahayakan kesehatan manusia. Menyikapi hal ini, barangkali ada benarnya pendapat yang mengatakan, bahwa babi haram jika dimakan, dan halal kalau dimanfaatkan untuk kepentingan lainnya, seperti kasus menyamak bangkai dalam hadis di atas. Apalagi jika merujuk ayat 145 al-A’raf di atas, kaitannya jelas dengan makan. Ia akan memudaratkan jika dimakan, tapi bisa bermanfaat jika digunakan untuk keperluan lainnya. Dalam sebuah kaedah dijelaskan, Allah tidak melarang sesuatu melainkan karena ada mafsadat (kerusakan), dan tidak membolehkan sesuatu kecuali memberi masalahat (manfaat). Walaupun sampai hari ini fatwa ulama masih pada sikap “halal” jika bersifat emergensi dan darurat.
Tulisan ini perlu kajian lebih lanjut dan mendalam, wallahua’lam.[]
* Penulis adalah Akademisi dan Dai di Lhokseumawe, meraih Doctor of Philosophy (Ph.D) Quran dan Sunah di International Islamic University Malaysia.
#Babi #Hewan #yang #Fenomenal